Wednesday, July 24, 2013

2nd January

“Hai, Dear”
“Haai!”

“Apa kabar hari ini?”

“Semakin baik setelah disapa olehmu”

“LOL”

“Lho, malah ngakak”

“Gombalnya lebay”

“Gombal juga kamu suka, kan?”

“Sayangnya, iya. lol”

“lol”

“Aku berangkat ke kuliah”

“Hati-hati, dear”

“Thank you. Xoxo”

“Xoxo”

Aku menutup cover tab-ku. Segera meraih tas tangan. Dan berangkat!

***

“How’s your study?”

“Great. Why are you asking?”

“Just…”

“So, kapan kita ketemu?”

“It’s up to you. Jangan sampai mengganggu kuliahmu”

“I have a semester break on 2nd January”

“Dua minggu lagi?”

“Yup”

“Oke. Kamu kemari?”

“Iya. Sekalian menjenguk opa”

“Atur saja dimana kita ketemu ya?”

“Kamu yang traktir?”

“Iyaaa”

“Asik!”

Perasaanku gembira tak terkira. Walau masih dua minggu lagi, tak bisa kubayangkan akan bertemu dia. Seorang teman maya. Dia selalu asik diajak becanda. Nyambung mau cerita apa saja. Sebatas ini, kami hanya bertukar foto saja.

2 Januari. Manhattan Café.

Aku melongok kesana kemari. Mencari dia yang sudah berjanji akan bertemu disini. Aku merasa ada sepasang mata yang menatapku. Aku menoleh. Dia melambaikan tangannya.

Ah, itu dia. Jauh lebih cakep dari foto.

“Audrey!” teriaknya kecil. Aku sambut tangannya. Ia menarikku kedalam pelukannya.

“Tak kusangka akhirnya kita bertemu”

“Ya!” Kata-kataku masih patah-patah. Tak menyangka ia luar biasa ramah. Aku semakin terpana saja.

“Hey. May I join?” Suara bariton menyapa tiba-tiba.

“Ben! You’re late! Duduk” Deny menepuk lengan Ben. Ben menggeser kursi di antara kami dan duduk. Aku senyum sopan kepada Ben. Kemudian kembali memandang Deny. Oh Tuhan, aku benar-benar terpesona.

“Audrey, kenalkan. This is Ben. Ben, this is Audrey” Deny memperkenalkan kami.

“Oh, ini mahasiswi yang kamu ceritakan itu?” Jawab Ben lugas sembari menggenggam tanganku. Deny mengangguk.

“Dia selalu bercerita tentangmu, Audrey. Sampai-sampai saya cemburu” Ben terus terang. Deny meninju lengannya pelan.

“Kami sudah bersama setahun lebih dan baru kali ini dia tak berhenti cerita tentang perempuan” katanya lagi. Deny terbahak. Aku senyum-senyum bingung.

“So.. You’re…” kalimatku menggantung.

“Yes. We’re couple. Jangan bilang kalau Deny gak cerita” Ben tertawa lagi. Aku pun ikut tertawa juga. Campur ngenes tapinya. Harapku menguap dengan segera.


Kami, Dia dan Gary

Aku hanya mampu menatapnya dari sini. Sembunyi-sembunyi. Pura-pura sibuk sendiri, padahal rasa ingin tahu akannya semakin besar dalam hati. Ia demikian penyayang, kata teman-temanku. Pantas mereka betah berlama-lama bersamanya. Berkumpul dan bersenda sambil nyemil kacang atau apapun yang ia bawa.

Aku kagum dengan matanya. Mata itu selalu ceria melihat kami yang menyambut kedatangannya dengan gembira. Mata itu akan meredup. Penuh empati bila suatu saat ada rekan kami yang sedang terluka atau sakit. 

Aku kagum dengan lengannya. Seakan tak lelah melayani kami yang tak henti menggandengnya. Mencengkram kuat telapak tangannya. Atau sekedar memijit-mijit sikunya. Tetap saja, belaian lembut yang kami terima. Bukan hentakan atau bentakan.

“Sudah? Yuk!” Laki-laki bernama Gary itu mengajaknya keluar. Kami tau. Dia akan segera berangkat. Kami tak melepas tangannya. Apalagi aku.

“Iya sebentar” Jawabnya. Ia membelai kepala kami satu-satu. Menepuk-nepuk telapak tangan kami serupa janji bahwa esok akan datang kembali. Kami melepasnya dengan pandangan tak rela. Begitulah setiap hari. Aku mencintainya. Aku tak ingin berpisah. Aku menggandengnya erat. Sampai kapanpun. 

“Yuk” Manusia bernama Gary itu datang lagi. Huh.

“Bentar, mas. Simpanse yang ini agak demam. Makanya manja. Bentar lagi, yah” Jawabnya lembut ke arah laki-laki itu sembari membelai kepalaku. Aku semakin erat memeluknya.

Tuesday, July 23, 2013

(BeraniCerita #21) Ngidam

Credit

“Kemana?”

“Keluar bentar”

“Keluar mulu”

Paijo berdehem sedikit. Malas menjawab pertanyaan sinis istrinya.

“Kalau pulang nanti jangan kemaleman. Ingat istri di rumah”

Blam.

Paijo menutup pintu. Setidaknya tanpa berusaha terlalu keras untuk menulikan telinganya suara istrinya sedikit teredam. Ia menarik nafas dalam-dalam. Menghembusnya perlahan lewat mulut. Sedari tadi dia sudah menyabarkan diri. Telinganya panas mendengar ceracau istrinya yang tak henti sejak pagi. Ada saja yang dirasanya salah. Ah, entahlah.

“Sabar, Jo. Wanita yang tengah hamil muda memang kadang aneh”

“Termasuk tidak menyukai suaminya sendiri, Bu?”

“Kadang…”

“Aku heran, bu. Kalo dekat, marah-marah. Aku pergi juga marah-marah”

Ibu tersenyum saja mendengar anaknya yang bersunggut-sungut.

“Anni gak ngidam apa-apa, Jo?” tanya ibu. Paijo mengangkat bahu.

“Dua hari yang lalu katanya pengen kolak pisang, bu… tapi belon sempet dibikin. Anninya mual terus” suara Paijo berubah pelan. Perasaan kasihan tiba-tiba menyelusup masuk mengurai kesalnya.

“Ya kamu yang buatin kalo dia gak sanggup, Jo” kata Ibu.

“A-Aku?”

“Iya… nanti ibu sms bahan-bahannya. Sekarang kamu pulang. Angin diluar lagi kencang. Kalo kamu juga ikut-ikutan sakit nanti malah repot” nasehat ibu.

“Baik, bu…” Paijo menutup sambungan telepon. Dia beranjak dari ayunan besi tempat dia menyendiri dari tadi. Bukan tipenya kelayapan keluar rumah malam-malam begini. Hanya kali ini dia benar-benar butuh angin segar.

***

Anni belum berubah banyak. Pagi tadi wajahnya masih cemberut walau tangan Paijo tetap diciumnya. Pun sore ketika Paijo pulang dari kantor. Tanpa memandang mata Paijo seperti biasanya, Anni mencium tangan Paijo kemudian ngeloyor masuk ke kamar. Jika Paijo masuk, Anni keluar. Paijo keluar ke ruang keluarga, Anni masuk kamar lagi. Duh. Paijo garuk-garuk kepala. Bingung. Tapi kemudian ia teringat sesuatu.

Aha! Kolak Pisang!

Mulailah ia berjibaku dengan bahan-bahan yang tadi sempat dibeli. Dengan earphone yang menyumpal di telinga, dengan teliti dia mendengar instruksi dari ibu. Cara memasak kolak pisang. Menyesal rasanya ia tak dekat dengan urusan dapur begini lebih awal. Tak menyangka, jika keadaan seperti ini kadang bisa datang tiba-tiba justru ketika sudah berkeluarga.

“Yak! Beres!” Paijo mematikan api kompor. Dia mengendus-endus. Kemudian mencicip sedikit kolaknya. Pas! Kata ibu, jangan sampai pisangnya terlalu lembek. Dia mengambil satu potong pisang, menusuk-nusuknya dengan garpu.

“Sepertinya sudah” batinnya.

Paijo mengambil mangkok. Menuangkan kolak kedalamnya. Aroma nangka menyeruak. Paijo pede dengan masakannya.

“Apa itu, mas?” Anni tiba-tiba muncul.

“Kolak pisang…”

“Wah…” Anni sumringah. Ia langsung mendekat. Paijo mengajaknya duduk, meletakkan semangkok kolak pisang hangat didepan istrinya. Hatinya senang. Sudah lama sepertinya tak melihat senyum Anni yang seperti tadi.

Anni lahap. Mata Paijo tak beralih dari wajah istrinya.

“Resep ibu memang mantap!” batinnya.

Ludes. Semangkok kolak habis tak bersisa.

“Makasih, mas” Anni tersenyum lagi. Paijo bersyukur dalam hati.

Namun kemudian Anni bergegas bangkit ke kamar mandi. Dia muntah lagi. Paijo sigap. Ia membawakan minyak angin dan memijit tengkuk Anni. Kolak yang dimakan tadi keluar lagi. Anni menyiram sisa muntahnya.

“Udah enakan?” Paijo menuntun istrinya ke kamar. Anni mengangguk. Hingga sampai di depan pintu, dia berhenti. Anni memandang suaminya. Ia mengambil minyak angin ditangan Paijo. Mendorongnya sedikit keluar, kemudian menutup pintu kamar.

Ceklek-ceklek.

Bunyi kunci dua kali. Paijo melongo.

Lagi?   
Berani Cerita #21

Word Count: 500
(Berani Cerita #21) Kolak Pisang
#JuliNgeblog #day19

Monday, July 22, 2013

(Berani Cerita #20) Ketakutan

“Pantainya indah ya…”

“Iya…”

“Aku punya mimpi, ingin memiliki rumah di tepi pantai…”

“Aku juga suka pantai, tapi gak segitunya..”

“Maksudmu?”

“Ya gak sampe pengen jadi nelayan tinggal di tepi pantai gitu…”

“Yang bilang jadi nelayan siapaaaa?”

Kemudian terdengar suara tawa berderai.


Kresek.. kresek.. kresek..


“Aku lebih suka disini”

“Hmm?”

“Ada pohon yang rimbun. Padang hijau yang landai. Angin sepoi-sepoi. Langit biru terang… indah kan?”

“Lebih indah dari pada laut maksudmu?

“Mmm… beda-beda indahnya sih ya. Disini, udaranya segar. Produksi oksigen dari tumbuhan-tumbuhan hijau ini bagus sekali untuk kita. Lagipun jika matahari sedang terik, disini akan tetap adem…”

Terdengar suara helaan nafas.

“Pantai itu indah. Tapi hanya untuk dikunjungi sesekali. Bukan tiap hari. Kamu mau kulitmu gosong terbakar matahari gara-gara tiap hari mainnya di pantai?”

“Eerr…”

“Gak kaaan?”

“Udah ah, jangan direkam terus…”

“Iyaaa, iyaaa. Ini aku matiin..”


Kresek.. kresek.. kresek..


Ctek! Putaran kaset berhenti otomatis.

“Kamu dengar, Nisaaa? KAMU DENGAR? HAH?” Pras membentak wanita didepannya. Tangan dan kakinya terikat. Mulutnya tertutup lakban hitam. Rambutnya kusut masai. Wajahnya berantakan karena bedak dan eye liner yang luntur oleh air mata dan keringat.

Gelengan keras dan erangan tangis yang menjadi jawaban. Untuk melawan, wanita itu sudah kewalahan.

“MANA JANJIMU AKAN SETIA DULU? MANAAA???” Pras berteriak tepat didepan wajah Nisa. Mata Nisa memejam ngeri. Air Matanya tak terbendung lagi.

“Jika aku tidak bisa memilikimu, TIDAK JUGA DIA, NISAAA!!!”

BUGHHH!!!

Pras meninju dinding. Dia pergi ke arah lemari. Mengacak-acak isinya untuk mencari belati.

“Lihat ini.. LIHAT…” Pras memain-mainkan ujung belati ke wajah Nisa. Mencongkel sedikit ujung lakban yang menutup mulutnya lalu menariknya dengan kasar.

“Jangan teriak. Atau kamu mati lebih cepat” Pras meletakkan ujung belati tepat dibawah kerongkongan Nisa. Nisa terengah-engah.

“Ma..af..kan a..aku, Pras…” Ujar Nisa lemah.

“Kamu jangan khawatir, Nisa… Kamu tak akan sendirian... Aku akan menyusulmu segera… “ bisik Pras di telinga Nisa. Nisa memejamkan matanya kuat-kuat. Pasrah pada apapun yang akan diperbuat lelaki gila bernama Pras ini.

Dzeggg!!!

Sekali sayat. Kepala nisa lunglai. Darah mengucur deras dari nadi leher.

“Aku segera menyusulmu, sayang…” Pras meletakkan belati tepat di lehernya dan…

BRUKKK!

Ia pun ambruk

***

“Dek, udah.. buka matanya.. film nya sudah habis…” Suara Mas Djarwo berbisik ketelingaku.


Word Count: 357