Harusnya
sedari dulu kamu sadar. Betapa aku menunggumu disini dari awal. Ini malah
sebaliknya. Kau bisa tersenyum demikian ramah pada semua orang. Namun padaku? Jangankan
senyum hambar, menoleh pun tidak. Menatapku saja kamu enggan. Padahal sudah
hitungan tahun aku menunggumu disini dan memandangmu tanpa bosan.
“SOMBONG,
KAMU!” teriakku suatu waktu tepat dihadapanmu. Kamu tak perduli. Tanpa
sedikitpun memandang aku, kamu pertahankan senyummu pada orang-orang dibelakangku. Bukan untukku!
Cih.
“KAMU MAU
BUKTI APA LAGI, HAH???” Teriakku kali ini. Aku lelah. Namun enggan menyerah.
Aku tak tau lagi bagaimana harus membuktikan padamu, bahwa cintaku ini nyata. Dari
cara paling lembut telah aku coba. Menatapmu sabar dari subuh hingga isya. Tak
jarang kamu kuhadiahkan beberapa tangkai bunga yang dengan sengaja kamu biarkan
layu begitu saja.
Sekarang, batas
kesabaranku sudah lewat. Jika menolakku, katakan saja sejujurnya. Jangan tetap
tersenyum dan diam saja begitu. Aku kira itu isyaratmu untuk mau. Ah.
Kugenggam erat
martil dan alat pahat tajam yang kubawa. Lihat saja. Akan aku hilangkan senyum
jahatmu itu. Biar kamu tau, betapa luka hati tak terjawab rasanya sakit. Pahit.
Aku
mendekatimu perlahan. Walau tak sabar untuk melihatmu hancur berkeping layaknya
aku yang kamu acuhkan. Kedua tanganku mengunci dibelakang. Berusaha sembunyikan
peralatan tajam yang aku bawa serta.
Kini. Aku
tepat didepanmu. Memandang lekat senyummu yang tak henti tersungging sejak
tahun lalu. Perlahan kuletakkan peralatan itu diwajahmu. Sekali ketuk saja,
senyummu akan mati.
Namun…
“Hey! Kamu!
Dilarang merusak patung hiasan taman, hey!”
Dari jauh
ada orang yang berteriak ke arahku. Aku tak peduli. Kuhantamkan kuat martil itu
kewajahmu.
BUGH!!!
Sekali. Dua
kali. Tiga kali.
Aku
diringkus pergi. Tapi, aku bisa tenang kini. Senyummu telah mati.
#JuliNgeblog #Day14
No comments:
Post a Comment