10.30 pm.
Aku
mengedarkan pandanganku kesekeliling. Aku berada di UGD. Suasananya ramai. Baru
saja terjadi kecelakaan hebat. Bis lintas antar kota dengan truk pengangkut
pisang, kabarnya. Entah apa penyebabnya. Kelalaian pengemudi barangkali. Aku tak
tau pasti.
Aku duduk
di sebuah kursi kosong yang terletak di pojok ruangan. Disini agak sepi dari pada
di tengah ruangan sana. Penuh sesak dengan ranjang-ranjang tipis, tiang-tiang infus dengan para korban menjerit-jerit histeris. Suasana di dalam sini sedang panik sekali. Para suster
mondar-mandir. Sebagian ada yang membersihkan luka-luka korban yang tak bisa
dibilang ringan. Mayoritas korban terluka karena terjepit dan terkena beling.
Wajar. Melihat bagian depan bis yang memang hancur dan rusak parah.
Di tempat
tidur ujung sana. Seorang lelaki paruh baya. Aku melihat kakinya lunglai berdarah-darah.
Wajahnya sudah tak terlihat jelas. Warnanya hanya merah. Dia dikerumuni tiga
suster. Seorang suster membersihkan bagian kakinya, seorang membersihkan
wajahnya dari tusukan beling, dan seorang lagi membantu keduanya.
Di tempat
tidur sebelahnya, terbaring tenang seorang ibu dengan wajah, tangan dan kaki terbalut
perban. Aku tak mengenalnya. Tapi dari baju kurung yang ia kenakan, sepertinya
ia adalah ibu yang menawariku buah salak di bis tadi. Sukurlah ibu itu sudah
selesai ditangani. Tenaga medis disini kerjanya cekatan sekali.
Aku melihat
ranjang disebelahnya. Disana sudah tidak ada siapa-siapa. Hanya terbaring
seorang laki-laki remaja seumuranku. Dia diam saja. Tak seperti pasien lain yang mengaduh kesakitan disana-sini. Wajahnya sudah bersih tak berlumuran darah
lagi. Hanya tinggal bekas tusukan beling. Kepalanya terbalut perban
tebal. Tubuhnya terblut kemeja yang warnanya sudah tak jelas karena dikotori darah
dan lumpur. Katanya, dia sempat terlempar dari jendela dan masuk ke kubangan
lumpur. Kepalanya pendarahan hebat karena terantuk batu yang ada disitu.
Aku datang
mendekat dan mencoba mengingat-ingat. Dia ini tadi duduk di kursi nomor berapa
ya? Aku berdiri tepat disebelah ranjangnya. Menatap wajahnya lurus-lurus sambil
berpikir keras. Hingga kemudian para suster kembali datang dan membentangkan
selimut putih menutupi tubuh dan wajahnya.
Seketika
itu aku ingat. Aku tau dia siapa. Aku amat mengenalnya. Dia Norman. Usianya 17
Tahun. Duduk di nomor bangku 18. Iya. Dia itu… Aku.
#JuliNgeblog #Day17
No comments:
Post a Comment