Wednesday, July 24, 2013

Kami, Dia dan Gary

Aku hanya mampu menatapnya dari sini. Sembunyi-sembunyi. Pura-pura sibuk sendiri, padahal rasa ingin tahu akannya semakin besar dalam hati. Ia demikian penyayang, kata teman-temanku. Pantas mereka betah berlama-lama bersamanya. Berkumpul dan bersenda sambil nyemil kacang atau apapun yang ia bawa.

Aku kagum dengan matanya. Mata itu selalu ceria melihat kami yang menyambut kedatangannya dengan gembira. Mata itu akan meredup. Penuh empati bila suatu saat ada rekan kami yang sedang terluka atau sakit. 

Aku kagum dengan lengannya. Seakan tak lelah melayani kami yang tak henti menggandengnya. Mencengkram kuat telapak tangannya. Atau sekedar memijit-mijit sikunya. Tetap saja, belaian lembut yang kami terima. Bukan hentakan atau bentakan.

“Sudah? Yuk!” Laki-laki bernama Gary itu mengajaknya keluar. Kami tau. Dia akan segera berangkat. Kami tak melepas tangannya. Apalagi aku.

“Iya sebentar” Jawabnya. Ia membelai kepala kami satu-satu. Menepuk-nepuk telapak tangan kami serupa janji bahwa esok akan datang kembali. Kami melepasnya dengan pandangan tak rela. Begitulah setiap hari. Aku mencintainya. Aku tak ingin berpisah. Aku menggandengnya erat. Sampai kapanpun. 

“Yuk” Manusia bernama Gary itu datang lagi. Huh.

“Bentar, mas. Simpanse yang ini agak demam. Makanya manja. Bentar lagi, yah” Jawabnya lembut ke arah laki-laki itu sembari membelai kepalaku. Aku semakin erat memeluknya.

No comments:

Post a Comment