Aku hanya
mampu menatapnya dari sini. Sembunyi-sembunyi. Pura-pura sibuk sendiri, padahal
rasa ingin tahu akannya semakin besar dalam hati. Ia demikian penyayang, kata
teman-temanku. Pantas mereka betah berlama-lama bersamanya. Berkumpul dan
bersenda sambil nyemil kacang atau apapun yang ia bawa.
Aku kagum
dengan matanya. Mata itu selalu ceria melihat kami yang menyambut kedatangannya
dengan gembira. Mata itu akan meredup. Penuh empati bila suatu saat ada rekan kami
yang sedang terluka atau sakit.
Aku kagum
dengan lengannya. Seakan tak lelah melayani kami yang tak henti menggandengnya.
Mencengkram kuat telapak tangannya. Atau sekedar memijit-mijit sikunya. Tetap saja,
belaian lembut yang kami terima. Bukan hentakan atau bentakan.
“Sudah?
Yuk!” Laki-laki bernama Gary itu mengajaknya keluar. Kami tau. Dia akan segera
berangkat. Kami tak melepas tangannya. Apalagi aku.
“Iya
sebentar” Jawabnya. Ia membelai kepala kami satu-satu. Menepuk-nepuk telapak
tangan kami serupa janji bahwa esok akan datang kembali. Kami melepasnya dengan
pandangan tak rela. Begitulah setiap hari. Aku mencintainya.
Aku tak ingin berpisah. Aku menggandengnya erat. Sampai kapanpun.
“Yuk” Manusia bernama Gary itu datang lagi. Huh.
“Bentar,
mas. Simpanse yang ini agak demam. Makanya manja. Bentar lagi, yah” Jawabnya
lembut ke arah laki-laki itu sembari membelai kepalaku. Aku semakin erat
memeluknya.
No comments:
Post a Comment