Rumah
kosong didepan rumahku sudah ditempati. Penghuninya seorang duda beranak dua. Dari
berita yang kudengar, usianya 46 tahun. Terpaut 18 tahun dari usiaku.
“permisi,
mbak…” terdengar suaranya dari luar. Aku bergegas menuju pintu depan. Kudapati
ia tersenyum disana. Manis sekali.
“Ayo dong,
dek.. dikasihkan ke mbaknya…” bisiknya kepada seorang anak perempuan yang
menenteng nampan.
“Ini, mbak…”
Katanya malu-malu.
“Wah.
Terima kasih. Siapa yang buat takjilnya?” Kataku seraya menyilahkan mereka masuk
ke ruang tamu.
“Ini adek
dan kakak yang buat, mbak…” jawab putri kecil itu malu-malu.
“Keroyokan
bertiga, mbak. Mohon maaf kalo hasilnya gak memuaskan. Maklum, pada puasa. Gak
ada yang nyicip” sambung pak Andi ramah. Ia tersenyum lagi.
“Makasi
banyak lho, pak. Gak masuk dulu? Didalam ada ibu…” kataku.
“Oh, tidak
mengapa. Terima kasih. Bentar lagi buka, kan? Dirumah kakaknya sendirian..”
tolaknya halus. Putrinya melambaikan tangan ke arahku. Ah, manis sekali.
***
Kini genap
enam bulan sudah kami bertetangga. Layaknya tetangga, kami sering bersapa jika
kebetulan keduanya berada diberanda. Tak jarang saling bertukar isi piring jika
kebetulan memasak sesuatu yang beda. Sejauh ini, terlihat pak Andi orang yang
amat bertanggung jawab kepada keluarga. Tak pernah terdengar sekalipun suaranya
meninggi kepada kedua anaknya. Seperti rutinitas, setiap sore Senin, Rabu dan
Jum’at mereka pasti keluar bersama. Jalan-jalan sore katanya. Pemandangan yang
paling aku suka, jika ternyata putrinya tertidur di jok depan motornya sehingga
dia harus menggendongnya kedalam rumah.
Duh.
Aku jadi
teringat almarhum ayah. Penyayang dan penyabar luar biasa. Jaman sekarang, mana
ada lelaki yang begitu. Banyakan yang egois. Mau menang sendiri. Apalagi jika
sudah mapan. Huh.
Hari
berlalu dan aku semakin kagum pada beliau. Tak dapat aku pungkiri, ada angan
yang tumbuh dihati untuk memiliki pendamping seperti beliau. Aku berharap. Sungguh. Kini beliau sudah
duduk didepan kami. Aku dan ibu. Katanya ingin menyampaikan sesuatu yang
penting.
“Saya
senang dengan keluarga ini…” Pak Andi memulai kalimatnya. Suaranya bikin adem. Aku
menikmati setiap kata yang keluar dari mulutnya.
“Dan saya
juga mulai memikirkan untuk memberi ibu untuk anak-anak dan juga pendamping
saya…” Lanjutnya. Aku deg-degan. Tanganku panas dingin. Harapku mengembang dan
mengembaaanggg.
“Dengan ini
saya mohon ijin…” kata-katanya berjeda lagi. Aku semakin tak sabar menunggu
kelanjutannya.
“Untuk
melamar ibu Retno menjadi ibu dari anak-anak saya…” Lanjutnya.
JEDERRR!
“Ap..Apa,
pak?” suaraku tercekat. Aku tak tau reaksi ibu seperti apa.
“Iya. Saya
yakin, seorang ibu yang sudah membesarkan kamu menjadi sebaik ini, pasti akan
bisa mendidik anak-anakku juga. Dan mereka, sudah menganggap kamu seperti kakak
sendiri, nak” Jawabnya sambil tersenyum sesekali dan terus memandang ibu dan
aku.
Aku
mendadak pusing.
#JuliNgeblog #Day16
No comments:
Post a Comment